Menghadang Senja Di cIbaduyut sebuah artikel lama

Saturday, July 23, 2011

02 AGUSTUS 2004
Pabrik Sepatu
Menghadang Senja di Cibaduyut
BAK daun digerogoti ulat, kinerja industri sepatu nasional makin banyak bolongnya. Sejak krisis mulai mendera, nilai ekspor sepatu terus loyo. Sebelum krisis, nilainya sempat menembus US$ 2 miliar, tapi kini hanya pada kisaran US$ 1,2 miliar. Boro-boro naik atawa bertahan, yang ada justru turun. Pada periode Januari-April tahun ini, nilai ekspornya turun 9,85 persen menjadi US$ 366 juta.

Karakter industri yang hanya menjadi "tukang jahit" untuk pemilik sepatu branded macam Nike, Adidas, dan Reebok makin menyudutkannya. Setelah tragedi 11 September di Amerika, pasar sepatu dunia lesu. Pemilik brand pun mengencangkan ikat pinggang. Mereka mengurangi order seraya mencari "tukang jahit" baru yang ongkosnya lebih murah. Cina, Vietnam, dan kini Thailand pun menjadi "tukang jahit" alternatif.

Hanya dalam tempo empat tahun, 30 pabrik sepatu gulung tikar dan 500 ribu orang kehilangan pekerjaan. Kini hanya 100 perusahaan yang produktif dari 200-an sebelum krisis. Sekadar mengingatkan, dua tahun lalu, pemilik merek Reebok dan Nike mengalihkan ordernya ke Vietnam. Kebijakan ini memakan korban: PT Primassindo dan PT Doson di Tangerang.

Sebelumnya, PT Universal Wisesa Indonesia di Sidoarjo, yang "menjahit" Diadora, sudah bangkrut. Disusul PT Fortune Matein Indonesia, dengan menganggurkan 7.500 karyawan. Baru dua pekan lalu, PT Kasogi Internasional Tbk., yang dikenal dengan merek Kasogi, memutuskan menutup pabriknya (lihat Kasogi, Sebelum Dicoret…). "Yang tutup yang besar-besar karena menggantungkan order dari sepatu branded," kata Yudhi Komarudin, Sekretaris Jenderal Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo).

Kini perusahaan besar tinggal 15. Selebihnya pengusaha skala kecil-menengah (UKM) seperti di Cibaduyut, Jawa Barat. Namun UKM sepatu yang hanya mengandalkan pasar lokal ini juga bermasalah. Era pasar bebas makin menyudutkan mereka dengan maraknya sepatu impor Cina—pangsa pasarnya kini hampir 30 persen.

Menurut Asosiasi Pengusaha Sepatu Cibaduyut (APSC), pasar sepatu mereka anjlok hingga 50 persen. Dulu sepekan terjual 200-300 pasang, tapi kini hanya separuhnya. Dari 101 anggota, sekitar 25 pengusaha tak aktif. Mereka lebih suka menjadi pedagang sepatu. "Harga sepatu Cina sangat murah, Rp 30 ribu, sedangkan harga kami minimal Rp 40 ribu," kata Ketua APSC Amun Makmun, "Margin juga tak mungkin diturunkan lagi, sudah terlalu rendah."

Inikah pertanda industri sepatu memasuki sunset industry? "Industri besar memang sunset, tapi industri kecil dan menengah belum," kata Yudhi Komarudin, "Asal bisa efisien dan mendapat dukungan bahan baku, mereka bisa bangkit dan melawan." Bahan baku memang menjadi urusan serius, terutama kulit impor. Kulit lokal malah banyak diekspor dan tidak cocok untuk sepatu olahraga yang mendominasi pasar nasional.

Dari komponen produksi saja, bahan baku mencapai 50 persen—lebih dari separuhnya diimpor. Komponen terbesar kedua adalah buruh, 25 persen. Biaya lain-lain juga cukup besar: 11,4 persen. Menurut catatan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, impor kulit masih tinggi. Tiga tahun terakhir, belanja impornya rata-rata mencapai 18 juta kilogram atau senilai US$ 115 juta. Kebanyakan diimpor dari Korea Selatan, Cina, Thailand, Argentina, dan India.

Menurut Yudhi, problem besar berikutnya adalah masalah perburuhan. Industri sepatu dikenal menyerap tenaga kerja hingga ribuan orang. Karakter ini menyebabkan industri sepatu rentan kolaps, misalnya jika pekerja melakukan aksi mogok. "Pemerintah harus tegas mendukung industri ini," kata Yudhi, "Sayang kalau tidak serius, sebab potensi pasar lokal sangat bagus."

Dengan populasi sekitar 220 juta jiwa, potensi pasar sepatu Indonesia sebetulnya sangat besar. Dengan rasio konsumsi sepatu 1,1 saja dan harga rata-rata Rp 25 ribu, pasar sepatu lokal mencapai Rp 3 triliun per tahun. Memang ada yang mencobanya dan lumayan berhasil. Sebutlah PT Unimitra Kharisma, yang memproduksi sepatu anak Starmon.

Mengusung merek Piero, Unimitra mampu meningkatkan kapasitas produksi menjadi dua juta pasang. Omzet penjualan merek Piero, yang praktis diluncurkan ke publik pada 1999, terus merangkak naik menjadi Rp 130 miliar pada tahun lalu. "Pertumbuhan pasarnya 30 persen per tahun," kata Harijanto, Presiden Direktur PT Unimitra, yang juga menerima order dari Nike sebanyak 700 ribu pasang per bulan.

Menurut dia, salah satu kunci suksesnya ialah berani membangun merek sendiri. Investasi untuk membangun merek itu memang tidak murah, menghabiskan Rp 30 miliar dalam tempo tiga tahun. Kini utilisasi pabriknya di atas 80 persen. "Strategi saya menjual Piero, harganya tidak lebih dari Rp 150 ribu," katanya. Merek lokal yang juga melejit di pasar adalah New Era. Pada tahun lalu, pertumbuhan pasarnya terbilang tinggi, sekitar 60 persen, menjadi Rp 244 miliar, padahal sebelumnya hanya Rp 150 miliar.

Pemerintah juga yakin industri sepatu masih bisa berkembang. Dengan mengatasi masalah utama seperti jaminan pasokan bahan baku kulit, industri ini masih prospektif. "Kalau problem hulu ini diatasi, industri sepatu kita masih punya daya saing," kata Direktur Industri Aneka Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Nugraha Sukmawidjaja. Pemerintah juga berjanji akan mengontrol pasar sepatu impor. Caranya dengan menerapkan instrumen standar dan label produk.

M. Syakur Usman
Share this article :

Similiar Templates

No comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. CIBADUYUT TOPSITE - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger