12 JANUARI 1974
Cerita lurah se dunia
ANAK-ANAK muda di Bandung konon tak sukar mengikuti perkembangan mode, meski kantong tak keliwat tebal. Untuk urusan sepatu misalnya, mereka bisa saja datang di pinggir-pinggir kota dan memesan bentuk sepatu yang paling mereka sukai. Itu bisa didapat di banyak tempat. Tapi ada satu desa yang penduduknya boleh dikatakan sebagian besar mengerjakan sepatu, yaitu di Cibaduyut. Penduduknya 7.200 jiwa dan tercatat ada 193 pengusaha industri sepatu rumahan. Minimal tiap pengusaha ini menampung 5 tenaga kerja. Mereka tergabung dalam Kopsi (Koperasi Produksi Sepatu Indonesia). Sehari mereka menghasilkan sepatu dari segala jenis -- mulai yang dapat dibeli oleh anak sekolah sampai buat pembungkus kaki nyonya-nyonya dan bapak-bapak -- sejumlah sepuluh ribu pasang. Itu tentu dengan segala mode pula: mulai buat kepentingan resepsi sampai bentuk yang belakangan ini tersohor bagaikan uleg gado-gado itu. Desa ini letaknya tak jauh dari pusat kota Bandung ke arah selatan berkisar 6 km saja. Atau dari jalan raya Bandung -- Soreang lebih kurang 2 km masuk kampung. Di samping menonjol dalam soal sepatu, Cibaduyut juga terbilang mashur dengan ikan, yang ikut mensuplai kebutuhan perut orang-orang Bandung. Satu lagi yang rada istimewa di desa ini: Kepala desanya diberi julukan "lurah sedunya" alias lurah sedunia. Tak jelas asal-usulnya penamaan itu tapi konon bagi gubernur Solihin, Lurah yang satu ini di antara 3.500 Lurah di Jawa Barat merupakan Lurah yang paling dihafalnya, bernama Haji Rusdi. Berkepala gundul bagaikan kubah planetarium, sang lurah, 64 tahun, sudah memegang jabatannya itu selama 34 tahun non stop. Minta disemprot. Akan halnya usaha persepatuan itu jika dihitung di atas kertas, omzet perhari dapat mencapai Rp 5 juta. "Tapi yang menghambat produksi ialah tak adanya tempat pemasaran di kota" keluh Haji Rusdi. Sehingga mereka terpaksa menjual kepada toko-toko langganan pembuat, yang apa boleh buat suka-suka berbau ijon. Sebab mereka hanya bisa mengantongi uang seperempat saja. Selebihnya hanya berupa bon untuk membeli bahan mentah sepatu. Itupun dengan harga toko. Ini dirasakan bagai ganjelan, terutama pengusaha yang kegiatannya kecil-kecilan saja. "Bila ada toko di Bandung, kami tak akan terjepit oleh modal pengusaha toko" tambah lurah Rusdi yang menunjukkan bahwa dengan cara membuka toko sendiri "akan lebih menguntungkan, uang bisa kembali sepenuhnya". Tak dijelaskan apakah buat menghadapi kemungkinan bertoko sendiri, sudah juga disiapkan keahlian mengurusnya. Sehingga dijamin tak malah jadi tambah kesulitan. Tapi yang jelas keluhan wak haji itu sudah sejak lama disampaikan kepada atasannya tanpa ada tanggapan. Satu ketika memang pernah gubernur Solihin berkata bangga kepada Sunarya Hamid -- pembantu TEMPO di Bandung "sepatu saya ini buatan Cibaduyut". Begitu adanya. Cibaduyut meski harus bergelut dengan kesulitan toh maju juga biar agak beringsut-ingsut. Di desa ini kini terdapat sebuah gedung SD yang kwalitasnya lumayan dan digunakan pagi dan sore. Tak ketinggalan tentu madrasah, ada dua buah. Tanah persawahan 164 ha, sebegitu jauh menurut wak haji "tak perlu pupuk, tanahnya subur" katanya "kecuali yang kami perlu ialah obat penyemprot hama". Cibaduyut memang tak termasuk dalam jaringan bimas. Meskipun ada kolam seluas 54 ha, yang menghasilkan ikan cukup lumayan. "Pokoknya kebutuhan orang Bandung, datangnya dari sini", kata haji Rusdi. Ketuk Sutami. Satu hal lain yang pantas membuat wak haji ini berbesar hati ialah usahanya memasukkan listrik ke desanya. Puluhan tahun penduduk beremang-remang atau paling banter hanya kenal sinar petromak. Tapi sejak Agustus lalu, sudah terpancang 221 tiang permanen. Sedikitnya sekarang ini 400 rumah sudah menikmati lampu listrik. Barangkali sekedar mengkaji uletnya kepala desa yang meski tua tapi tak sendirinya loyo ini, masuknya listrik ke Cibaduyut punya cerita: singkatnya haji Rusdi cukup mengendus bahwa biasanya soal begini bisa berlarut-larut dan tak kunjung terkabul. Maka beliau pun datang ke Jakarta, langsung masuk kantor Menteri Sutami. Konon penjaga pintu agak berkerut mendapatkan tetamu dari desa yang tanpa ayal ingin ketemu pak menteri. Mungkin agak tersinggung lantaran tak dipandang sebelah mata itu, haji Rusdi bicara tanpa aling-aling "Tak akan ada pemimpin di Jakarta, kalau tak ada orang seperti saya". Akhirnya Cibaduyut diberi listrik berkat permohonan kepala desanya yang berani. Di samping itu rasa tenteram penduduk di bawah kepala desa selama 34 tahun ini, mungkin juga lebih beralasan oleh adanya perbaikan-perbaikan maupun pembangunan yang nyata. Tahun '69 sampai '73, telah dibuat sebuah dam yang tentu berguna sekali. Biayanya Rp 577.662 dengan perincian Rp 92.500 subsidi pemerintah, Rp 336.912 dari Ipeda dan Rp 148.250 dari swadaya penduduk. Kemudian pada tahun 1970 membuat empat gorong-gorong untuk sarana perhubungan. Setahun kemudian fokus pembangunan pada soal pendidikan dan sosial, seperti membuat mesjid, sekolah. Dan jika ditotal biaya yang telah dihabiskan sejak 1969 sampai 1973, maka tercatat Rp 4.267.193,69 yang diperoleh baik dari subsidi pemerintah dan hasil Ipeda. Swadaya masvaakat saja meliputi Rp 885.979,50. Satu hal lagi yang mungkin bakal mendorong warga Cibaduyut memancang monumen bagi meremehkan haji Rusdi ialah adanya jalan selebar 3 meter dan panjang 1.600 meter yang kini telah beraspal. Untuk ini diperoleh 26 drum aspal dari Pemda Kabupaten Bandung. Itupun baru turun berkat "kebandelan" wak haji Rusdi yang tidak kapok-kapoknya minta aspal tersebut. "Sehingga sekarang tak usah takut becek lagi kalau datang ke Cibaduyut" kata Lurah jempolan itu.